....Ialah ( Allah ) yang mengutus ( Nabi Muhammad ) dengan petunjuk yang nyata dan agama yang benar ( sejati ), supaya ia memenangkan agama itu ( islam ) diatas segala agama yang yang lainnya, walaupun orang2 musyrik membencinya.
( As-shaf : 9 )
Sejak adanya manusia dimuka bumi ini, sejak itu pula mulailah orang membuat sesembahan, tempat yang dipuja dan dipuji, tempat yang dianggap suci, karena manusia tahu, bahwa diluar dia ada berdiri satu kekuatan dan kekuasaan yang lebih besar, lebih sempurna dari pada kekuatan dan kekuasaan yang ada pada dirinya. Orang menyembah batu dan kayu, menyembah tanah dan air, menyembah api dan angin, singkatnya macam-macam akal dan daya upaya manusia untuk mencari perlindungan, mencari keselamatan bagi dirinya semasa hidupnya.
Zaman jahiliyah yang kuno itu sudah lampau. Diganti dengan jahiliyah modern, yang pada hakekatnya pun tidak beda dengan kegelapan pada zaman dahulu kala itu. Berpuluh–puluh, beratus–ratus, bahkan beribu kali Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan utusan–utusannyaNya ( rasul ) dan Nabi–NabiNya ( pembawa berita dari Allah ), untuk memperbaiki keadaan manusia, didalam hidup dan pergaulannya.
Tiap–tiap utusan Allah itu diturunkan, tiap–tiap kalinya ia mendapat tantangan dari kaum jahilin dengan kekerasan dan kekejaman. Oleh sebab itu tidak jarang ada nabi yang terbunuh ataupun yang di usir dari tempat tinggalnya. Hanya karena menyiarkan berita–berita atau agama dari pada yang esa. Satu–satunya Dzat yang wajib disembah oleh tiap–tiap makhluk.
Dari pada berpuluh–puluh, dari sekian banyaknya nabi Allah itu, yang paling terakhir, yang penutup ialah Nabi Muhammad Rosulullah Saw. Nabi kesudahan yang menutup dan mencukupkan serta menyempurnakan segala nabuwah dari pada Allah. Nabi ialah seorang yang membawa benih kesejahteraan, benih kesentosaan, sekalian peraturan–peraturan ( addin–agama ) karena karunia dan kasih dari pada Allah jua. Hal ini dengan nyata disebutkan di dalam Al–Quran, Surat Al–Anbiya ayat 107, sebagai berikut :
Dan tidaklah Allah mengirimkan kamu kedunia, melainkan untuk memberikan rahmat bagi sekalian alam.
Perkataan ’alam’ disini ditujukan kepada sekalian makhluk, sekalian bangsa manusia, bahkan berarti pula segala apapun, yang ghaib dan yang nyata. Ayat yang kita kutipkan diatas ini cukuplah kiranya menjadi bukti kenyataan, bahwa agama yang diataskan oleh Allah atas sekalian Agama yang lainnya ( yang lebih dulu–>sebab kemudian dari itu tidak ada Rasullullah lagi–ialah Agama islam. Lebih tegas lagi didalam Al–Quran Surat Ali–Imran ayat 18 :
,,,, Bahwasanya agama yang sempurna dalam pandangan Allah ialah agama islam….”
Dalam kitab yang sekecil ini bukanlah maksud kita membicarakan masalah agama dan manusia dengan seluas–luasnya, melainkan hanyalah sekedar yang mengenai garis–garis besarnya, dengan harapan, mudah-mudahan dengan sepatah dua patah perkataan yang tuiliskan atau berkenanlah hendaknya Allah membukakan mata–hati kita, hingga kita mengetahui akan maksud dan tujuan hidup yang sempurna, sebagai yang diajarkan oleh penghulu besar, Nabi Muhammad SAW.
1. KHALIQ DAN MAKHLUK
Allah Subhanahu wa Ta’ala menitahkan sekalian ala mini, yang gaib dan yang nampak, sepanjang atau sependek penyelidikan mufasirin yang terbanyak, bolehlah dibagi menjadi dua bagian :
(1). Takwin
Takwin itu artinya, bahwa sesungguhnya Allah membuat sekalian alam ini dengan satu cara, yang sekali–kali tidak dapat diselidiki atau diketahui oleh panca inderanya manusia, satu cara yang mengatas segala penyelidikan dan pengetahuan makhluknya.
Af’a-oellah ( perbuatan–perbuatan Allah ) ini tidak bersangkut–paut dengan sesuatu makhluk. Tidak ada gantungan atau hubungan dengan tangan manusia, tidak pula ada satu usaha manusia yang mencampurkan diri padanya. semuanya ituterjadi dan dijadikan, karena kehendak ( iradat ) dan kekuasaan ( Qudrat ) Allah semata.
(2). Tasjri’
Selain dari pada itu ada pula perbuatan–perbuatan Allah, yang seolah–olah tergantung, atau seakan–akan dilekatkan dengan usaha manusia. Satu perkara yang tampaknya terikat oleh waktu dan tempat di dalam alam ini.
Maka tumbuhlah di dalam ilmu pengetahuan manusia berbagai–bagai teori, yang berkenaan dengan fisafat, tasawuf dan syariat agama, misalnya: teori asbabun-nuzul, satu teori yang menerangkan sebab–sebab turunnya ayat–ayat Al –Quran.
Bagian ini lazimnya dinamakan orang bagian Tasjri, artinya sesuatu perkara, yang menghendaki dan menuntut berlakunya syariat, bersangkutan dan berhubungan langsung dengan adanya atau dengan perantaraan syariat.
Maka dengan jalan Tasjri’ inilah–demikianlah cara manusia–Allah Ta’ala menurunkan Agamanya kepada sekalian makhluknya. Agama yang di dalamnya terdapat segala peraturan bagi manusia, bagian duniawi maupun ukhrowi, hidup seorang diri atau hidup bersama–sama, bagi satu bangsa dan segenap peri-kemanusiaan, bagi kemuliaan di dunia dan bahagia di akhirat. Pendek panjangnya, sekalian peraturan yang menjadi keperluan ala mini, dlohir dan bathinya, semuanya dapat kita temukan di dalam Agama ( Din ) islam, mulai yang sekecil–kecilnya hingga yang sebesar-besarnya.
2. MAKSUD DAN TUJUAN HIDUP MANUSIA
Adapun maksud dan tujuan hidup manusia, yang ber illahkan kepada Allah dan bernabikan kepada Nabi Muhammad, tidak ada lain, melainkan; melakukan’amal’ ibadah terhadap Allah dengan khusu’dalam arti kata yang sesempurnanya, dengan cara dan laku yang di contohkan oleh junjungan nabi kita Nabi Rosulullah SAW.
Kita yakin dengan penuh–penuh, bahwa tidak ada contoh yang paling mulia, paling utama, paling tinggi dan paling luhur harkat derajatnya, melainkan contoh dan tauladan dari pada penghulu besar kita itu tentang keindahan budi pekerti ( akhlak ) , kekuatan ruhani ( batin ) dan keutamaan perjalanan. Itu tidak seorangpun yang dapat menolaknya, walau lawan dan musuh islam sekalipun.
Berkenaan dengan perkataan'Ibadah', baiklah disini kita terangkan dengan singkat akan arti dan maksud perkataan ini. Adapun hal ‘ibadah ini–sepanjang garis-garis besarnya—bolehlah dibagi menjadi dua bagian : (1) ‘Ibadah Khususiyah, yang mengenai keperluan manusia seorang diri, dan (2) ‘Ibadah Umumiyah, yang bersangkutan dengan keperluan manusia menghadapi sekalian alam diluar dirinya.
Bagian yang pertama seringkali disebut juga bagian,anniyah ( individu ), dan bagian kedua dinamakan orang nahniyah ( universal )
Maka kewajiban tiap–tiap manusia beribadah atau bakti kepada Allah itu, termaktub di dalam berpuluh–puluh ayat Al–Quran dan ternyata didalam segenap sunah Rosulullah SAW. Antara lain disebutkan di dalam Kitabullah yang suci itu :
Hai sekalian bangsa manusia! Baktilah kepada Robbmu, ( Robb ) yang menjadikan kamu dan menjadikan orang–orang sebelum kamu, agar supaya kamu bertakwa . ( Al–Baqarah-21 )
Dan lagi :
,, Dan tidaklah diperintahkan kepada manusia,melainkan agar supaya berbakti kepada Robb yang esa: tiada Robb ( lain ), melainkan dia……………….. ( At – Taubah-31)
Di dalam zaman sekarang ini kita alami ini sungguh sangat perlu manusia tahu, sadar dan insyaf akan kewajibannya, Bakti’’Jika ia tidak bakti kepada Allah, tentulah ia akan bakti kepada selain dan diluar dari pada Allah.’’Maka mudah sekali manusia jatuh dalam kekufuran, hanya karena tidak tahu kepada siapa ia wajib bakti.
Selain dari pada itu, perbuatan Bakti itu pun harus pula dilakukan dengan khusu’ dan dengan hati yang suci serta ikhlas, seperti yang diajarkan didalam Al-Quran:
,, Tiadalah diperintahkan kepada manusia, melainkan bagi berbuat bakti kepada Allah, dengan ikhlas dan setia hati…..”( Al–Bayinah–5 )
Dan lagi :
,,Bahwasanya kami ( Allah ) menurunkan kitab ini (Al –Quran) dengan kebenaran, maka berbaktilah kepada Allah denga ikhlas dan tulus hati”,ingatlah bahwa sesungguhnya bakti yang ikhlas itu hanya bagi Allah semata …… ( Az–Zumar : 2–3 )
Lagi pula, perbuatan bakti atau ibadah itu tidak boleh dilakukan sekehendak kita, yang mudah terhinggapi penyakit segan dan bosen, tetapi bakti sampai kepada akhir hayat kita, bakti yang diperbuat sampai kepada nafas yang penghabisan seperti yang dinyatakn di dalam Al–Quran Surat Al-Hijr ayat 99
,, Baktilah kepada Robbmu,hingga datang kepadamu yang diyakini ( ajal )
Selain dari pada itu , Bakti kepada Allah yang esa itu Bakti yang diajarkan oleh Agama ( Din ) islam, bukanlah Bakti yang setengah–setengah, yang tanggung–tanggung, Bakti menurut sesuka nafsu manusia, melainkan ialah Bakti yang penuh–penuh, Bakti yang genap-lengkap, enteng atau beratnya, seperti yang dimaktubkan di dalam Al–Quran :
,,Hai sekalian orang–orang yang beriman ! masuklah kepada Agama (Din ) islam segenapnya ( kaffah ). ( Al–Baqarah : 208 )
Mengingat keterangan di atas cukuplah kiranya sekadar untuk memberi gambaran, apakah ‘ibadah atau Bakti itu. Berhubung dengan pembagian ‘ibadah tersebut, maka kewajiban bakti kita itu pun terbagi pula atas dua bagian, yang tidak boleh ditinggalkan salah satunya, melainkan kedua kewajiban itu harus berlaku bersama –sama.
(a) Al – Hadits ‘ alal – Qadim’
Dengan perkataan ini dimaksudkan kewajiban manusia kepada Allah yang langsung, Kewajiban Makhluk kepada Khaliq, yang tiada sangkutan atau hubungan dengan makhluk di luarnya. Jadi yang termasuk bagian kewajiban Hadist terhadap kepada Qadim itu pada khususnya ialah kewajiban Ruh manusia terhadap kepada Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kewajiban ini timbul dari pada ajaran yang terkandung dalam kalimat tauhid : La ilaha illallah. Dan oleh karena itu maka bagian ini sering kali juga disebut bagian Rububiyah”atau ilahiyah”, yang artinya,, ke-esaan.”
(b) Al – Hadist ‘alal – Hadist
Selain dari pada kewajiban (a) yang tidak terbatas dan tidak dapat diukur oleh manusia atau makhluk yang mana pun juga ( absolute ), pun ada pula kewajiban kita sebagai makhluk kepada makhluk lainnya ( relative ). Kewajiban ini ada hubungannya, ada sangkutannya, ada peraturannya, dan ada pula ketentuan–ketentuan yang tetap.
Berbedaan dengan wajib (a) yang mengurung sekalian bakti yang khusus, maka bagian (b) ini mengandung Bakti yang ‘umum sifatnya, karena bakti ini dilakukan di dalam dan diantara pergaulan hidup bersama. Menurut aliran sifat hidup bersama, bagian ini pun boleh pula dipecah –pecah lagi menjadi berbagai–bagai tingkat atau lapisan, misalnya:
::Dalam pergaulan antara laki –laki dengan laki-laki, antara perempuan dengan perempuan antara laki-laki denga perempuan,didalam perikatan rumah tangga dan diluarnya.
::Dalam pergaulan berkampung dan bernegeri yang berkenaan dengan maslahat umum / sosial
::Dalam urusan pembagian rizki ( ekonomi ) antara seorang dengan seorang lainnya, antara segolongan dengan golongan lainnya, seagama dan berbedaan agamanya.
::Dalam hidup bersama, yang mengenai cara–cara melakukan dan mengatur sesuatu negeri ( politik )
Sjahdan, maka semuanya itu oleh Allah SWT dengan risalah disampaikan kepada sekalian makhluknya dan Rosulullah ( utusan Allah ), inilah yang wajib menyampaikan lebih jauh kepada sekalian ummat, serta memberi contoh dan tauladan akan bukti ‘amal yang dimaksudkan di dalam amanat–amanat Allah itu.
3. BANGUNAN, SIFAT DAN CARA HIDUP
Didalam riwayat perjalanan manusia kita mengenal hidup manusia bermacam–macam. Menurut bangunan, sifat dan cara yang terdapat di dalamnya, bolehlah hidup manusia itu menjadi tiga bagian :
1) Hidup Hissy
2) Hidup Ma’nawy
3) Hidup Ma’any
Setengah manusia hidup hanya untuk keperluan dirinya sendiri. Yang selalu dikejar–kejar ialah hanya kepentingan yang berkenaan dengan dirinya, dengan rumah tangganya. Kadang-kadang ia bergerak juga di medan umum, tetapi bergeraknya yaitu hanyalah untuk keperluan diri, keperluan kasar, keperluan wadag ( material life ).
Orang yang demikian itu sesungguhnya mempunyai sifat,,diam”. Bukan ,,diam’ karena ia tidak kuasa berjalan, bukan pula diam, karena ia tidak pandai bergerak. Tetapi ia disebut diam, karena tidak pandai menjalankan hukum-hukum Allah.
Hidup yang demikian itu boleh di ibaratkan hidup secara tumbuh-tumbuhan, hidup dengan tidak sadar dan insyaf akan arti dan harga hidupnya! Maka hidup inilah yang dinamakan orang Hidup Hissy”, hidup hanya karena tidak mati belaka.
2) Hidup Ma’nawy
Selain dari pada golongan orang yang hidup seperti bagian (1), ada pula setengah orang yang sudah mulai mempergunakan hidupnya untuk menjalankan hukum2 Allah; tetapi belum mempunyai kesadaran yang cukup, belum mempunyai keyakinan yang kuat dan teguh, dan belum pula mempunyai kepercayaan yang sentausa. Ia mudah berubah, mudah digoyangkan dan dijatuhkan, mudah pula ia pindah haluan dan sikap, hanya karena ada sangkutan dengan salah satu kepentingan kedunian belaka. Ia belum mempunyai pendirian yang kuat dan teguh. Hidup manusia yang demikian itu, bernama Hidup Ma’nawy”.
3) Hidup Ma’any
Ialah hidup yang dipergunakan untuk melakukan amal kebaikan yang sebanyak-banyaknya amal yang timbul dari pada keyakinan yang kuat dan iman yang teguh; amal yang dilakukannya, hanya karena mengharapkan Rahmat dan Ridlo dari pada Allah SWT belaka! Dan tidak kerana ataupun harapan yang diluarnya.
Hidup sadar dan hidup insyaf ini tidak mudah tercapai, kecuali dengan karena kemurahan dan karunia Allah semata. Orang yang duduk dalam kehidupan ma’any itu, tidak lagi mengenal sukar dan sulit, berat dan susah, takut dan was2, dan lain–lain yang boleh mencegah manusia bagi melakukan amal yang sempurna.
4. SANDARAN HIDUP
Didalam mengadapi berbagai–bagai kewajiban, dan didalam usaha menyempurnakan amal bakti kepada Allah itu, maka sedikitnya kita harus mengingati akan dua sandaran hidup yang nyata :
1) Taqwa
Seorang yang muttaqien tahu akan hukum–hukum syariat Agama islam dan batas-batasnya, dan ia tidak suka melampaui batas-batas itu. Dengan hati–hati, tertib dan teliti ia menjalankan kewajibannya. Berjaga-jaga di dalam menghadapi tiap2 perkara dan pada tiap2 waktu, di mana-mana tempat, itulah sifatnya yang terutama.
Selain dari pada mengetahui dan pandai menjalankan wajib yang nyata, ia pun selalu ingin dan berdaya upaya untuk menjalankan yang sunahnya, ialah sunah yang menguatkan dan menyempurnakan yang wajib. Dan tiap-tiap yang dibolehkan oleh Agama ( mubah ) pun tidak pula ditinggalkan, asal semuanya itu boleh menjadi syarat akan kesempurnaan amal yang sejati kepada yang esa.
Sebaliknya, ia tidak hanya menjauhi tiap-tiap yang diharamkan oleh Agama, melainkan tiap-tiap sesuatu yang boleh menimbulkan atau boleh menjadi sebab akan tumbuhnya perbuatan haram, ini pun dijauhi dan dicegahnya pula.
2) Tawakkal ‘alallah
Sandaran amal yang kedua ini tidak pula kurang pentingnya. Tawakkal berarti penyerahan diri. Bukan penyerahan diri kepada siapa pun juga yang disukai, tetapi penyerahan diri kepada Allah, dan bukan yang diluar dia. Bukan pula satu penyerahan diri, yang tidak disertai dengan amal, melainkan Tawakkal ialah penyerahan diri di dalam melakukan usaha, langkah, gerak, dan ikhtiar.
Tidak dapat Tawakal dipisahkan dari pada taqwa, jika manusia menghendaki hidup yang sempurna, hidup yang di ridhoi oleh yang esa, hidup yang mengharapkan rahmat Allah.
Dan jika orang hanya berpegangan kepada taqwa dengan tidak ber–tawakal, pun tidak akan sempurna pula amalnya. Sebab taqwa yang tidak dilakukan bersama2 Tawakkal itu gampang sekali menumbuhkan hati was-was, gelisah dan lain-lain penyakit dalam Iman dan Tauhid, sehingga segala amalnya itu akan lebih banyak menimbulkan rugi dari pada untung, sepanjang ajaran syariat Agama islam.
Oleh sebab itu, jika kita tidak suka amal tanggung2 dan tidak menghendaki untung yang setengah2 di dalam amal–ibadah kita itu, hendaklah kita selalu mengingati akan kedua sandaran hidup tersebut, agar supaya jangan sampai kita mendapat rugi di dunia dan celaka di akhirat.
(( Kutipan dari Negarawan sejati Assyahid SMK ))
1 comments:
assalamu'alaykum..
ada banyak kekayaan intelektual dan hikmah yg bisa kita gali dari Assyahid, yg tdk hanya benar2 berpegang pd semangat Islam dan panduan al-Quran dan sunnah Rasulullah saw, tetapi juga begitu sadar akan zamannya, dan insyaaLlah, tetap relevan dg situasi masyarakat Indonesia hari ini.
setelah begitu banyak upaya utk menghapuskan Assyahid dari sejarah perjuangan ummat Islam bangsa Indonesia, dan berbagai upaya lainnya utk mereduksi perjuangan penegakan Daulah Islam di Indonesia dg berbagai ajaran dan kelompok sempalan, upaya2 utk kembali memperkenalkan kembali semangat dan pemikiran Assyahid--spt yg anda lakukan tentunya sangat berarti. barokaLlah fyk, wa jazakallah khayran katsira.
wassalam.
Post a Comment