Hal tersebut disampaikan Ketua Koalisi Anti-Utang Dani Setiawan melalui siaran resminya kepada pers di Jakarta, Rabu (8/4). "Transaksi utang luar negeri memaksa Indonesia untuk terus membayar pinjaman luar negerinya meskipun sumber keuangan negara terbatas. Saat ini Indonesia tengah berada dalam posisi keterjebakan utang (debt trap) yang sangat parah," kata Dani.
Ia mengatakan, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, pembayaran bunga dan cicilan pokok utang luar negeri menunjukkan trend yang meningkat. Pada awal tahun 2005 sampai dengan September 2008 total pembayaran bunga dan cicilan pokok pinjaman luar negeri sebesar Rp 277 triliun. Sementara total penarikan pinjaman luar negeri baru dari tahun 2005 sampai dengan September 2008 sebesar Rp 101 ,9 triliun.
Outstanding utang luar negeri Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2009 juga terus meningkat dari Rp 1.275 triliun menjadi Rp 1.667 triliun. Selain itu, total utang dalam negeri juga meningkat signifikan dari Rp 662 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 920 triliun pada tahun 2009. "Artinya, pemerintah berhasil membawa Indonesia kembali menjadi negara pengutang dengan kenaikan Rp 392 triliun dalam kurun waktu kurang lima tahun," ujarnya.
Sebelumnya, fakta-fakta serta temuan Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantas Korupsi menyatakan bahwa sejak 1967 hingga 2005 pemerintah baru memanfaatkan utang negara sebanyak 44 persen. Sisanya tidak pernah dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan. "Transaksi utang luar negeri selama ini justru membebani. Indonesia selama ini dipaksa terus membayar utang," tuturnya.
Ia menilai, pemerintah harus menggenjot upaya untuk mengurangi beban utang dengan cara menegosiasikan penghapusan utang kepada pihak kreditor. Langkah tersebut harus diikuti dengan komitmen untuk menghentikan ketergantungan terhadap utang luar negeri baru.
Ia mencontohkan sejumlah negara, seperti Nigeria, Argentina, Ekuador, dan Pakistan, telah mengambil langkah-langkah penghapusan utang.[rofx/komp]
0 comments:
Post a Comment