Penjelasan tentang makna hikmah (kebijaksanaan) yang menjadi prinsip dakwah Rasulullah Saw. Apakah hikmah berarti bahwa dalam berdakwah anda boleh berbuat "kebijaksanaan" sendiri sesuka hati anda, betapapun cara dan bentuk "kebijaksanaan" tersebut?
Apakah syariat islam memberikan kebebasan kepada anda unutk menempuh cara atau sarana apa saja selama tujuan anda benar? Tidak! Sesungguhnya Islam telah menentukan sarana kepada kita sebagaimana telah menentukan tujuan. Anda tidak boleh mencapai tujuan yang disyariatkan Allah kecuali dengan jalan tertentu yang telah dijadikan Allah sebagai sarana untuk mencapainya. Semua "Kebijaksanaan" dan policy dakwah Islam harus dirumuskan sesuai dengan batas-batas sarana yang telah disyariatkan.
Apa yang telah terjadi kepada baginda Rasulullah ketika berdakwah, Rasulullah ditawari untuk menjadi penguasa atau presiden sehingga dengan kekuasaan itu beliau bisa memanfaatkannya sebagai sarana dakwah, tetapi tanggapan beliau tentang tawaran itu adalah MENOLAK...!!!
Haa Miim. Diturunkan dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu serukan kepada kami dan telinga kamipun tersumbat rapat dan antara kami dan kamu ada dinding, silahkan kamu berbuat (menurut kemauanmu sendiri) dan kamipun berbuat (menurut kemauan kami sendiri)." Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Robb, Malik dan Illah kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, ( Fushshilat : 1-6 )
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmu Dienmu , dan untukkulah, Dienku ( Al-Kaafiruun: 1-6 )
Seandainya dakwah Rasulullah semata-mata mengejar kekuasaan dan harta kekayaan, niscaya beliau tidak akan bersedia menanggung penyiksaan dan tidak akan menolak tawaran mereka seraya mengatakan:
"Aku tidak berdakwah karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku agar menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan. Kemudian aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku sampaikan nasihat kepadamu. Jika kamu menerima dakwahku, maka kebahagianlah bagimu di dunia dan akhirat. Jika kamu menolak ajakanku, maka aku bersabar mengikuti perintah Allah hingga Allah memberikan keputusan antara aku dan kamu.
Tidaklah cukup "bijaksana" seandainya Rasulullah Saw menerima tawaran kaum Quraisy untuk menjadi penguasa atau president, sehingga dengan kekuasaan itu beliau bisa memanfaatkannya sebagai sarana dakwah islam? Apalagi, kekuasaan dan pemerintahaan itu memiliki pengaruh besar di dalam jiwa manusia. Perhatikanlah bagaimana para penganjur ideologi yang berhasil merebut kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan itu untuk memaksakan pemikiran dan ideologi mereka kepada rakyat.
Tetapi, Nabi Saw tidak mau menggunakan cara-cara seperti ini dalam dakwahnya, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dakwah islam itu sendiri.
Jika cara-cara seperti ini dibenarkan dan dianggap "Kebijaksanaan" yang syar'i niscaya tidak akan ada bedanya antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, antara dakwah islam dan dakwah-dakwah kebathilan.
Kemuliaan dan kejujuran, baik menyangkut sarana ataupun tujuan, adalah landasan utama falsafah Dien ini (Islam). Tujuan harus sepenuhnya didasarkan pada kejujuran, kemuliaan dan kebenaran. Demikian pula sarana harus didasarkan kepada prinsip kejujuran, kebenaran dan kemuliaan.
Dari sinilah maka para da'i Islam ditunutut untuk lebih banyak berkorban dan berjihad, karena mereka tidak dibenarkan menempuh jalan dan sarana sekehendak hatinya. Mereka harus mengambil jalan dan sarana yang sudah disyariatkan, betapapun resikonya yang harus dihadapi.
Adalah keliru Jika Anda beranggapan bahwa prinsip hikmah (Kebijaksanaan) dalam dakwah Islam itu harus disyariatkan untuk mempermudah tugas seorang da'i atau untuk menghindari penderitaan dan kesulitan.
Rahasia disyariatkannya prinsip hikmah dalam dakwah ialah untuk mengambil jalan dan sarana yang paling efektif agar bisa diterima akal dan pikiran manusia. Artinya, Apabila perjuangan dakwah menghadapi beraneka ragam rintangan dan hambatan, maka langkah yang bijaksana bagi para da'i dalam hal ini adalah melakukan persiapan untuk berjihad dan berkorban dengan jiwa dan harta. Hikmah ialah meletakan sesuatu pada tempatnya.
Disinilah perbedaan antara hikmah dan tipu daya, antara hikmah dan menyerah.
Anda tentu ingat dan mengetahui, ketika Rasulullah Saw merasa optimis melihat tanda-tanda kesediaan para tokoh Quraisy untuk memahami Islam, maka dengan perasaan gembira dan perhatian sepenuhnya beliau menjelaskan hakikat Islam kepada mereka. Sehingga ketika seorang sahabat buta, Abdullah Ibnu Ummi Maktum lewat, kemudian duduk mendengarkan di samping mereka dan bertanya kepadanya, Rasulullah Saw membuang muka darinya, karena beliau tidak ingin kehilangan kesempatan baik tersebut, disamping bahwa Ibnu Ummi Maktum akan bisa dijawab pada lain kesempatan.
Tetapi kebijaksanaan Rasulullah Saw ini mendapat teguran dari Allah di dalam surat Abasa, kendatipun tujuannya sangat mulia. Karena cara tersebut mengandung sikap yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam, yaitu mengabaikan dan menyakiti hati Abdullah Ibnu Maktum karena ingin menarik hati kaum Musyrik.
Tegasnya, tidak seorang pun yang dibenarkan untuk mengubah, melanggar dan meremehkan hukum-hukum dan prinsip-prinsip Islam, dengan dalih kebijaksanaan dalam berdakwah. Sebab suatu kebijaksanaan tidak bisa disebut bijaksana jika tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan syariat dan prinsip-prinsipnya.
Maraji’
Dr. Muhammad Sa’id Al-Buthy (Sirah Nabawiyah )
.
Apakah syariat islam memberikan kebebasan kepada anda unutk menempuh cara atau sarana apa saja selama tujuan anda benar? Tidak! Sesungguhnya Islam telah menentukan sarana kepada kita sebagaimana telah menentukan tujuan. Anda tidak boleh mencapai tujuan yang disyariatkan Allah kecuali dengan jalan tertentu yang telah dijadikan Allah sebagai sarana untuk mencapainya. Semua "Kebijaksanaan" dan policy dakwah Islam harus dirumuskan sesuai dengan batas-batas sarana yang telah disyariatkan.
Apa yang telah terjadi kepada baginda Rasulullah ketika berdakwah, Rasulullah ditawari untuk menjadi penguasa atau presiden sehingga dengan kekuasaan itu beliau bisa memanfaatkannya sebagai sarana dakwah, tetapi tanggapan beliau tentang tawaran itu adalah MENOLAK...!!!
Haa Miim. Diturunkan dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan. Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu serukan kepada kami dan telinga kamipun tersumbat rapat dan antara kami dan kamu ada dinding, silahkan kamu berbuat (menurut kemauanmu sendiri) dan kamipun berbuat (menurut kemauan kami sendiri)." Katakanlah: "Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Robb, Malik dan Illah kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadaNya dan mohonlah ampun kepadaNya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya, ( Fushshilat : 1-6 )
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmu Dienmu , dan untukkulah, Dienku ( Al-Kaafiruun: 1-6 )
Seandainya dakwah Rasulullah semata-mata mengejar kekuasaan dan harta kekayaan, niscaya beliau tidak akan bersedia menanggung penyiksaan dan tidak akan menolak tawaran mereka seraya mengatakan:
"Aku tidak berdakwah karena menginginkan harta kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Tetapi Allah mengutusku sebagai Rasul. Dia menurunkan Kitab kepadaku dan memerintahkan aku agar menjadi pemberi kabar gembira dan peringatan. Kemudian aku sampaikan risalah Rabb-ku dan aku sampaikan nasihat kepadamu. Jika kamu menerima dakwahku, maka kebahagianlah bagimu di dunia dan akhirat. Jika kamu menolak ajakanku, maka aku bersabar mengikuti perintah Allah hingga Allah memberikan keputusan antara aku dan kamu.
Tidaklah cukup "bijaksana" seandainya Rasulullah Saw menerima tawaran kaum Quraisy untuk menjadi penguasa atau president, sehingga dengan kekuasaan itu beliau bisa memanfaatkannya sebagai sarana dakwah islam? Apalagi, kekuasaan dan pemerintahaan itu memiliki pengaruh besar di dalam jiwa manusia. Perhatikanlah bagaimana para penganjur ideologi yang berhasil merebut kekuasaan, memanfaatkan kekuasaan itu untuk memaksakan pemikiran dan ideologi mereka kepada rakyat.
Tetapi, Nabi Saw tidak mau menggunakan cara-cara seperti ini dalam dakwahnya, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip dakwah islam itu sendiri.
Jika cara-cara seperti ini dibenarkan dan dianggap "Kebijaksanaan" yang syar'i niscaya tidak akan ada bedanya antara orang yang jujur dan orang yang berdusta, antara dakwah islam dan dakwah-dakwah kebathilan.
Kemuliaan dan kejujuran, baik menyangkut sarana ataupun tujuan, adalah landasan utama falsafah Dien ini (Islam). Tujuan harus sepenuhnya didasarkan pada kejujuran, kemuliaan dan kebenaran. Demikian pula sarana harus didasarkan kepada prinsip kejujuran, kebenaran dan kemuliaan.
Dari sinilah maka para da'i Islam ditunutut untuk lebih banyak berkorban dan berjihad, karena mereka tidak dibenarkan menempuh jalan dan sarana sekehendak hatinya. Mereka harus mengambil jalan dan sarana yang sudah disyariatkan, betapapun resikonya yang harus dihadapi.
Adalah keliru Jika Anda beranggapan bahwa prinsip hikmah (Kebijaksanaan) dalam dakwah Islam itu harus disyariatkan untuk mempermudah tugas seorang da'i atau untuk menghindari penderitaan dan kesulitan.
Rahasia disyariatkannya prinsip hikmah dalam dakwah ialah untuk mengambil jalan dan sarana yang paling efektif agar bisa diterima akal dan pikiran manusia. Artinya, Apabila perjuangan dakwah menghadapi beraneka ragam rintangan dan hambatan, maka langkah yang bijaksana bagi para da'i dalam hal ini adalah melakukan persiapan untuk berjihad dan berkorban dengan jiwa dan harta. Hikmah ialah meletakan sesuatu pada tempatnya.
Disinilah perbedaan antara hikmah dan tipu daya, antara hikmah dan menyerah.
Anda tentu ingat dan mengetahui, ketika Rasulullah Saw merasa optimis melihat tanda-tanda kesediaan para tokoh Quraisy untuk memahami Islam, maka dengan perasaan gembira dan perhatian sepenuhnya beliau menjelaskan hakikat Islam kepada mereka. Sehingga ketika seorang sahabat buta, Abdullah Ibnu Ummi Maktum lewat, kemudian duduk mendengarkan di samping mereka dan bertanya kepadanya, Rasulullah Saw membuang muka darinya, karena beliau tidak ingin kehilangan kesempatan baik tersebut, disamping bahwa Ibnu Ummi Maktum akan bisa dijawab pada lain kesempatan.
Tetapi kebijaksanaan Rasulullah Saw ini mendapat teguran dari Allah di dalam surat Abasa, kendatipun tujuannya sangat mulia. Karena cara tersebut mengandung sikap yang tidak dibenarkan oleh syariat Islam, yaitu mengabaikan dan menyakiti hati Abdullah Ibnu Maktum karena ingin menarik hati kaum Musyrik.
Tegasnya, tidak seorang pun yang dibenarkan untuk mengubah, melanggar dan meremehkan hukum-hukum dan prinsip-prinsip Islam, dengan dalih kebijaksanaan dalam berdakwah. Sebab suatu kebijaksanaan tidak bisa disebut bijaksana jika tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan syariat dan prinsip-prinsipnya.
Maraji’
Dr. Muhammad Sa’id Al-Buthy (Sirah Nabawiyah )
.
0 comments:
Post a Comment