اللهم انك تعلم أن هذه القلوب قد اجتمعت على محبتك، والتقت على طاعتك، وتوحدت على دعوتك، وتعاهدت على نصرة شريعتك، فوثق اللهم رابطتها، وأدم ودها، واهدها سبلها، واملئها بنورك الذى لا يخبو، واشرح صدورها بفيض الإيمان بك، وجميل توكل عليك، واحيها بمعرفتك، وأمتها على الشهادة فى سبيلك، إنك نعم المولى ونعم النصير


Dalil-Dalil Syahadatain-شهادتين و بالأدلتها

Dalil-Dalil Syahadatain-شهادتين و بالأدلتها

Muhammad Ali ash-Shabuni menjelaskan dalam kitab Sofwah at-Tafasir bahwa ” Syahidallahu annahu laa ilaha illa ana. Bahwa ayat ini menjelaskan,sesungguhnya orang yang menyatakan ( syahadat tauhid ) maka didatangkan pada hari kiamat.lalu Allah Azza wa jalla berfirman: “ Hamba-Ku telah berjanji kepada-Ku ,dan Aku adalah yang paling berhak menepati janji,masukanlah hamba-Ku ke syurga.... More >>
Makna Hijrah

Makna Hijrah

Adapun perkataan Hijrah itu asal mulanya terambil dari pada perkataan "hadjara" yang mempunyai makna amat berbagai-bagai, menurut keadaan, kejadian dan waktu dipakainya perkataan itu. Diantara makna-makna yang terkandung di dalam perkataan "hadjra" itu adalah seperti berikut :. [...] More >>
Hakikat Dienul Islam

Hakikat Dienul Islam

Dalam Al Qur’an kata Ad-Din diulang sebanyak 92 kali. Pada surat-surat Makiyah 47 kali dan pada surat-surat Madaniyah 45 kali, melihat pengungkapan kata Ad-Din pada surat Makiyah dan Madaniyah, maka dapat dikatakan bahwa porsi kata Ad-Din pada keduanya berimbang. Kondisi ini mengindisikasikan bahwa di Makkah dakwah Islam untuk memperkenalkan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad, sedangkan pada zaman Madaniyah lebih pada penataan atau pendalaman dari Ad-Din... [...] More >>
Ummatan Wasathan

Ummatan Wasathan

Kalimat thoyyibah " Laa ilaha illallah " para ulama mengatakan ada dua kandungan rukun, yaitu An-Nafyu (penafian) dan Al-itsbat (penetapan). Seorang muslim yang mereflesikan kalimat tauhid pasti menafikan segala yang disembah selain Ilahul Haq dan menetapkan hanya Allah saja yang berhak untuk disembah. Karena hanya Allah yang Haq, yang lain adalah Bathil. Itulah makna hakiki dari tauhid.[...] More >>

6.11.09

“Negara Islam” di tinjau dari Al Quran dan As Sunnah

Ada saja dari segelintir manusia yang seenaknya bicara “Bahwa dalam Al-Qur’an dan hadist tidak terdapat istilah “Negara” atau “Daulat”, maka tidak perlu memikirkan Negara Islam”.

Boleh jadi pernyataan seperti itu tidak saja datangnya dari yang tidak mengerti tentang Islam, melainkan datang pula dari yang mengerti akan sebenarnya Islam hanya saja diperalat oleh luar Islam. Atau pun dari yang pura-pura tidak tahu akan konsep negara dalam Islam, lantaran takut dan tidak sanggup bila mendukung tegaknya Negara Islam. Maka, berputar-putarlah mencari dalih guna membuktikan diri sebagai tokoh yang cepat tanggap dalam buka suara.

Disini penulis menyeru, “Sadarlah anda-anda”! Bahwa mencari Istilah “Negara Islam” dalam Al-Qur’an dan Hadist Nabi Saw, akan sama halnya mencari istilah “Rudal” (peluru kendali) dalam kamus bahasa Indonesia beratus tahun yang silam. Meskipun pada waktu itu elemen-elemen untuk pembuatan senjata serupa itu sudah ada, tentu istilah “Rudal” belum ada.

Memperbincangkan istilah “Negara Islam”, untuk itu kita harus membedahnya dari berbagai arah.

1) ilmu mantik (logika).

Padanya bahwa “dilalah” (petunjuk), garis besarnya terbagi dua

1. Dilalah Lafdhiyah, yaitu bilamana penunjuk itu merupakan lafadh atau perkataan.
2. Dilalah Ghairu Lafdhiyah, yaitu bilamana si penunjuk itu bukan merupakan lapadh, tetapi merupakan isyarat, tanda-tanda, bekas-bekas dll.

Berdasarkan pengetahuan logika di atas itu, maka mengenai pengertian (konsepsi) Negara Islam dalam Al-Qur’an, sebagai penunjuknya itu ialah isyarat yang mana Kitabbullah itu mengisyaratkan bahwa kita harus menjalankan kewajiban-kewajiban antara lain :

1. Menjalankan hukum pidana Islam. Lihat Qs. Al-Maidah : 38, 45 (Pencurian dan Qishosh), QS An-Nur : 2 (Zina), dan QS 2 Al-Baqarah : 178 (Diyat)
2. Melaksanakan ibadah yang berkaitan dengan perekonomian, diatur oleh pemerintahan Islam, sehingga menyalur pada Kebenaran Illahi. Lihat Qs At-Taubah : 29, 101 (Jizyah).
3. Mempunyai kepemimpinan tersendiri sehingga tidak didikte oleh manusia yang setengah-tengah (fasik/kafir) terhadap Islam. Lihat Qs Al Maidah : 51, 57 (Jangan mengambil pemimpin dari orang kafir dan orang yang mempermainkan agama), Qs. Al-A’raaf : 3 (Jangan mengambil Pemimpin yang tidak taat kepada Alloh), Qs Ali Imran : 28 dan Qs. An-Nisa :144 (Jangan menjadikan orang kafir sebagai wali).
4. Memiliki kekuatan militer tersendiri, umat berfungsi sebagai tentara Islam (Qs. Al-Anfaal : 39 (memerangi orang-orang yang menimbulkan fitnah terhadap Islam), Qs 2 Al-Baqarah : 123 (memerangi orang kafir), Qs 9 At-Taubah : 73 (berjihad melawan orang kafir dan munafik serta bersikap keras terhadap mereka).


Dengan adanya kewajiban-kewajiban itu saja telah menunjukkan keharusan umat Islam memiliki kedaulatannya sendiri, Yaitu “Negara yang berazaskan Islam”/Negara Islam.

2) Qaidah Ushul Fiqih

Barusan kita menolehnya dari ilmu mantiq, kini kita tinjau pula dari sudut Qaidah Ushul Fiqih yang bunyinya:
مِنْ بَابِ مَالاَ يَتِمُّ الْوُجُوْبُ اِلاَّ بِهِ فَهُوَا وَاجِبٌ

“Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan sesuatu hal, maka sesuatu hal itu menjadi wajib”.

Yang dimaksud oleh kaidah diatas itu, yakni bahwa dalam menjalankan sesuatu kewajiban, sedangkan untuk bisa menyempurnakan kewajiban yang dituju itu harus menggunakan satu bentuk pekerjaan, maka menjalankan bentuk pekerjaan demikian itu wajib adanya. Contohnya, dalam hal wajibnya berwudhu untuk melakukan shalat. Disebabkan hal itu wajib maka menyiapkan adanya air untuk itu pun wajib. Sungguh, kalau dicari dalam Al-Qur’an tidak didapati ayat yang bunyinya secara saklek mewajibkan kita berusaha memperoleh air. Akan tetapi, kewajiban berfikir dan berbuat dengan ilmu dalam hal ini sudah jelas tidak perlu disebutkan.

Sama maksudnya dengan qaidah yang tertera diatas tadi, di bawah ini kita lihat lagi qaidah ushul fiqih yang bunyinya :

اَلاَمْرُ بِالشَّيْئِ اَمْرٌ بِوَسَائِلِهِ

“Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh perantaraan-perantaraannya”.

Misalnya, memerintahkan naik rumah, itu berarti juga memerintahkan untuk mentegakkan tangga, sebagai perantaraannya. Sesuatu perbuatan yang diperintahkan tidak akan terwujud kecuali dengan adanya perbuatan-perbuatan lain sebelumnya ataupun alat-alat untuk mewujudkan perbuatan yang diperintahkan itu. Maka, perbuatan-perbuatan lain dan alat-alatnya disebut perantara (wasilah) sebagai wajib muqayyad.

Berdasarkan penganalisaan dari ilmu fiqh itu maka mentegakkan negara/daulat Islam itu hukumnya adalah wajib. Sebab, bahwa daulah Islam itu sebagai alat untuk kita bisa menterapkan hukum-hukum Islam secara sempurna. Juga, merupakan wasilah yaitu perantaraan untuk mendhohirkannya.


3) Musthalah Hadits

Seirama dengan ilmu mantik dan ushul fiqh, maka ilmu “Musthalah Hadist” menyatakan bahwa “Hadist” ialah semua yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa “Qauliyyah” (perkataan), “Fi’liyyah” (perbuatan) dan “Taqririyah” (pengakuan).

Penjelasannya sebagai berikut :

1. Qauliyah ialah berupa perkataan, baik itu berupa perintah atau larangan, pun berita yang diucapkan Nabi. Artinya merupakan lafadh, perkataan.
2. Fi’liyyah yaitu yang berupa perbuatan Nabi Saw. Pada baris yang kedua ini dimengerti bahwa yang dinamakan hadist/sunnah Nabi Saw itu tidak semua berupa perkataan. Jadi, bila Nabi itu tidak mengucapkan kata “Negara Islam” atau “Daulat Islam”, tetapi bila nyatanya beliau telah membentuk organisasi yang setara dengan “negara”. Serta menjalankan nilai-nilai Islam yang berhubungan dengan kenegaraan/kekuasaan, maka membentuk negara yang berazaskan Al-Qur’an dan Sunnah Saw adalah wajib bagi umat penerusnya. “Kekuasaan” yang berazaskan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw itu logikanya ialah “Negara Islam”. Pun, logis bila dalam segi lainnya di dapat perbedaan definisi dari yang non-Islam.
3. Taqririyah yaitu Pengakuan Nabi Saw terhadap perbuatan sahabat yang diketahui oleh Nabi, tetapi Nabi tidak menegur atau menanyakannya. Yang semuanya itu bersangkutan dengan beberapa hikmah dan hukum-hukum yang terpokok dalam Al-Qur’an.

Dengan hal-hal yang telah dipraktekkan Nabi Saw, jelas sekali bahwa adanya “konsepsi negara Islam” di dalam hadist, maka sebagai penunjuknya yaituperbuatan” Nabi Saw, yang mana telah membuat garis pemisah antara kekuatan militer musyrikin dan militer Islam. Kelompok Abu Jahal, Abu Lahab memiliki prajurit bersenjata, maka Nabi pun menyusun dalam mengimbanginya. Beliau telah bersikap tegas, Siapa saja yang menyerang negara Islam, maka dianggapnya sebagai musuh, walau dirinya telah mengaku muslim (perhatikan QS 4 : 97), dan sikap Nabi terhadap Abu Abas diterangkan pada bagian keempat). Ringkasnya, bahwa seluruh ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kedaulatan seperti yang dikemukakan tadi telah dipraktekkan oleh Nabi melalui kekuasaan yang berlandaskan Islam. Lembaga yang sesuai dengan pola dari Nabi itu akan menjamin kita menjalankan hukum Islam secara “Kaaffah”.

Dalam Al-Qur’an banyak istilah “Para Pemegang Kekuasaan” (ulil amri). Hal itu diterapkan Rasulullah Saw di Madinah. Beliau selaku kepala pemerintahan (negara), jelas memiliki kedaulatan dalam teritorial serta memproklamirkan kekuasaan (daulat) untuk menjalankan hukum terhadap masyarakat. Juga, mempunyai ribuan prajurit bersenjata dan aparat pemerintahan yang dikoordinasi dalam satu lembaga. Dengan arti lain, tidak bercerai-berai (QS 3 : 103). Sungguh kesemuanya itu adalah identik dengan sesuatu negara.

Bagi kita mengenai beda-bedanya istilah ”negara” dan “daulat”, juga “pemerintahan”, bukanlah soal ! Melainkan, yang harus diyakinkan; sudahkah diri berada dalam lembaga yang sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan pola dari Nabi Saw. Mari introspeksi sampai dimana batas maksimal daya dalam berikhtiar guna mengikuti jejak Nabi kita itu.

Pada prinsipnya kita adalah Khalifatan fil Ardhi (penguasa di bumi). Ini berarti tidak terbatas pada sesuatu negara/daerah. Akan tetapi, toh; negara itu bagian dari bumi. Bila terjadi keterbatasannya daerah, maka hal itu karena soal relatifnya kondisi kemampuan. Sedang yang diharuskan adalah berdirinya kekuasaan. Dalam hal ini kita simak Firman Allah SWT yang bunyi-Nya :

يَادَاوُدُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي اْلاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ…

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan kebenaran…” (QS. 38 : 26)

Dalam memperhatikan ayat di atas itu, sejenak kita merenung bahwa Nabi Daud yang telah dijadikan penguasa dimuka bumi. Maka, dapatkah diartikan bahwa seluruh manusia di permukaaan bumi pada waktu itu sudah di bawah kekuasaan Nabi Daud ? Rasulullah Saw diutus bagi segenap manusia (kaafafatan linnaas), dan rahmatan lil a’lamiin (QS 21 : 27).

Namun, karena faktor dari kemanusiaannya, maka dayanya pun terbatas. Dan dilanjutkan oleh para sahabat penerusnya. Umat Islam pada zaman Khalifah yang sempat juga pada masa itu belum sampai menguasai seluruh dunia. Yaitu masih terbatas. Masih mendingan adanya kekuasaan yang terbatas dari pada yang “nol” sama sekali, dibawah kaki-kaki jahiliyah. Sebab itu kita tidak usah mengahayal akan persatuan Islam sedunia, bila negeri sendiri masih dikuasai pemerintahan thogut, dan diri terlibat dalam penterapan hukum-hukum kafir !.

Penyebutan tentang istilah untuk “pemerintahan Islam”, maka boleh disesuaikan dengan situasi selama tidak bertentangan dengan syara’. Dari itulah, maka untuk “lembaga ulil amri” pada masa pemerintahan Rasulullah Saw boleh disebut dengan istilah “Lembaga Kerasulan”. Sedang untuk masa khalifah, yaitu “Khilaafah”. Lembaga khilafah ini adalah penerusnya dari lembaga kerasulan.

Khilaafah asal kata “Khalafa Yakhlupu Khilaafah”. Khilaafah ini bila disamakan dengan “Imaamah”, berarti “pemerintahan” sebagai pengganti pemerintahan Nabi Saw. Bila disejajarkan dengan “Imaamah” berarti “Ikutan” dari lembaga kerasulan. Sebab itu, maka khilaafah ini berarti pula “perwakilan” (representation). Sedang oknumnya ialah khalifah (vicegerent), berarti “utusan/delegasi”.

Jadi khilaafah ini adalah Lembaga Kerajaan Allah dimuka bumi, di utuskan kepada hamba-Nya. Tujuannya untuk menjalankan Undang-Undang-Nya di dalam kerajaan tersebut, sebagaimana yang ditentukan didalam Kitab-Nya. Dengan kalimat lain bahwa kedaulatannya di tangan Allah selaku Pemilik-Nya.

Adapun kita Cuma sebagai aparat atau petugas-Nya yang tidak boleh menyimpang dari yang telah ditetapkan Allah SWT. Ibarat seorang yang fungsinya sebagai karyawan sesuatu perusahaan, maka dalam menjalankan administrasinya harus sesuai dengan peraturan yang dikehendaki oleh sipemilik perusahaan.

Raja yang berupa manusia adalah mempunyai undang-undang, dan akan murka terhadap yang melanggarnya. Maka, bagaimanakah Allah yang memiliki seluruh kerajaan ? Sungguh musyrik bagi yang menyepelekan Hukum-Hukum Allah !

AbuQital1

0 comments:

Christology

'Tuhan' Yesus versus Tuhannya Yesus

Dalam buku A Question that Demans an Answer

(Jawaban yang Disingkap­kan), seorang misionaris yang menamakan diri Abd Al-Masih membanding-bandingkan antara Yesus dan Muhammad. Perbandingan ini dilakukan secara licik dengan mencomot dalil-dalil Al-Qur‘an dan Hadits yang tidak semestinya. More...»»

Ĭ
Site Kata Islam Search


Iqra > Kata Islam
Directory of Religion Blogs
______________________________________________________________________________________________________________
Site Meter kata islam Powered by FeedBurner Add to Google Reader or Homepage SEOmoz Linkscape Score: 1.9 Find Blogs in the Blog Directory Religion Blogs - Blog Top Sites TopOfBlogs Religion Top Blogs

© Copyright 2008 Kata Islam. All rights reserved | template by uniQue menu with : CSSplay photo header : pdphoto
Best View with Mozilla Firefox | Subscribe to Kata Islam by Email