
Menurut koresponden Al-Jazeera, James Bays yang baru-baru ini melakukan kunjungan ke kamp tersebut, meski kontroversial, AS nampaknya tidak berniat menutup kamp bahkan melakukan perluasan dengan membangun sayap sel tahanan baru senilai 60 juta dollar. Sayap baru itu bisa menampung lebih dari 1.000 tahanan dan sekarang dihuni oleh sekitar 700 tahanan, 30 diantaranya tahanan asal negara di luar Afghanistan.
Pihak AS mengklaim lebih transparan dan membuka diri bagi siapa saja yang ingin melihat kondisi penjara Bagram. Tapi saat melakukan kunjungan, rombongan wartawan termasuk Bays tidak diperlihatkan satu tahanan pun. Sejumlah pengacara yang menyertai mereka mengatakan, kondisi penjara bagi para tahanan mungkin sudah berubah tapi status hukum bagi para tahanannya tetap sama. Para tahanan yang mendekam di penjara Bagram tidak pernah dikenakan dakwaan dan tak satu pun pengacara sipil yang dijinkan masuk ke dalam penjara.
Seorang mantan tahanan di penjara Bagram dan Guantanamo bernama Omar Dighayes mengungkapkan, penjara Bagram lebih mirip kamp konsentrasi. Setiap hari para tahanan dipukuli, diseret dan disiksa. "Tempat itu sangat keras dan sulit," ujar Dighayes.
Ia menyatakan tidak percaya kondisi penjara Bagram kini sudah berubah, terutama perlakuan terhadap para tahanannya. Karena seorang ipar Dighyaes yang ditahan di penjara itu baru-baru ini mengalami penyiksaan berat.
"Setiap orang yang bekerja di Bagram-dari pihak Amerika-pasti akan mengatakan bahwa apa yang saya katakan memang benar terjadi. Orang-orang dari kalangan intelejen militer dan dari FBI banyak yang sudah bicara tentang perlakuan barbar di dalam penjara itu," kata Dighayes.
Tapi Komandan penjara Bagram, Jenderal Martins mengatakan bahwa militer AS banyak belajar dari pengalaman sejak invasi AS ke Afghanistan tahun 2001 dan mereka telah memperbaiki perlakuan terhadap para tahanan. "Penjara, jika tidak dikelola dengan benar, bisa menimbulkan bahaya. Kami percaya transparansi, bisa banyak membantu dan meningkatkan kredibilitas keseluruhan proses di Afghanistan," klaim Martin.
Pihak AS boleh mengklaim apa saja, namun seorang aktivis hak asasi manusia dari Reprieve menilai kamp penjara Bagram ibarat "saudara kembar" kamp penjara Guantanamo dalam hal perlakuan buruk terhadap para tahanannya. "AS bicara soal transparansi, tapi AS tidak pernah memberikan daftar nama-nama tahanan penjara Bagram secara terbuka. Tak seorang pun tahanan yang diberi akses didampingi pengacara," tukas Clara Gutteridge yang banyak melakukan penyelidikan tentang penjara-penjara rahasia AS.
Pangkalan udara AS di Bagram merupakan pangkalan militer terbesar AS di Afghanistan. Dulunya, Bagram adalah basis militer Soviet selama berlangsungnya penjajahan Soviet di Afghanistan pada era tahun 1979-1989. Bagram membentang di kawasan Parwan, sebuah kawasan yang relatif tenang dan bukan basis kelompok militan Taliban.
AS mengalokasikan dana puluhan juta dollar untuk mengembangkan pangkalan udara itu dan kondisinya sekarang sudah seperti kota kecil AS yang dihuni oleh sekitar 24.000 personel militer AS dan kontraktor sipil.
AS terus memperluas dan memperbaiki fasilitas di pangkalan udara itu seiring dengan tuntutan kebutuhan karena makin bertambahnya pasukan yang dikirim AS dan makin meluasnya peperangan AS di Afghanistan. Meski dijaga sangat ketat, pangkalan angkatan udara AS ini tidak luput dari serangan roket dan mortir Taliban.
Menurut jubir militer AS, Kolonel Mike Brady, selama tahun 2009, Taliban melakukan belasan kali serangan roket ke Bagram, yang menewaskan empat orang d

0 comments:
Post a Comment